Menyusuri Jejak Rasisme Di Persepakbolaan Rusia

"Ada empat kasus besar rasisme di negeri Putin."

Feature | 03 February 2020, 23:32
Menyusuri Jejak Rasisme Di Persepakbolaan Rusia

Libero.id - Rasisme di dunia persepakbolaan bukanlah sesuatu yang baru. Biasanya rasisme itu mengarah  kepada warna kulit atau pun ras suku bangsa seorang pemain. Dalam di dunia olahraga seperti sepak bola hal itu terjadi dimana-mana, baik itu di benua Eropa maupun benua lain seperti Asia dan Afrika.

Khusus di Eropa, Rusia termasuk ke dalam negara Eropa yang memiliki citra buruk mengenai fair play mereka, terutama para fans klub sepak bolanya yang identik dengan rasisme. Yang belum lama terjadi adalah kasus Malcom yang ditolak kehadiranya pada saat melawan Krasnodar (07/10/2018). Dalam pertandingan tersebut, fans dari Zenit Petersburg menuliskan kalimat rasis pada sebuah sepanduk yang berbunyi ”Terima kasih telah setia menjaga tradisi” Tulisan tersebut adalah sarkas yang ditunjukan oleh segelintir fans Zenit kepada klub, karena menurut mereka Zenit tak seharusnya memakai jasa orang berkulit hitam.

Hal tersebut bukanlah yang terjadi pertama kali. Tapi kalau mau melihat lebih ke belakang, sebenarnya rasisme yang terjadi di Rusia itu seperti apa dan kenapa bisa terjadi?

Pada tahun 2006, Rusia ditetapkan oleh Amnesty International sebagai negara yang tingkat rasisme yang sudah “di luar kendali” atau "out of control". Di antara banyaknya kasus rasisme di Rusia ada setidaknya 4 hal yang selalu menjadi masalah yakni soal sosial, agama, etnis dan kebijakan. Dalam persepakbolaan Rusia, etnis sering kali menjadi masalah utama walaupun sebenarnya manajemen klub menerima dengan baik pemain yang berasal dari manapun.

Ada beberapa kasus rasisme dalam persepakbolaan Rusia yang cukup terkenal diantaranya:

1.Pada Maret 2008, 3 pemain Olympique Marsielle, yakni Andrew Ayew, Charles Kabore dan Ronald Zubar disebut oleh fans Zenit Petersburg sebagai “black players”. Tidak sampai di situ, dalam wawancaranya bersama BBC Sport, Ronald Zubar mengatakan bahwa “Mereka melempar pisang ke arah kami dan membuat suara monyet selama pertandingan. Itu adalah hal yang tidak bagus, membuat kekalahan semakin buruk (Marseille kalah 0-2 dari Zenit ), Sementara mereka memiliki segalanya untuk dirayakan. Kami lebih suka bahwa pertandingan dihentikan dan orang-orang tidak ada,” ungkapnya.

2. Pada 20 Agustus 2010, Peter Odemwingie terkena lemparan rasisme dari supporter Lokomotiv Moscow. Pemain timnas Nigeria tersebut memang lahir di Rusia, tepatnya di Taskhent, tetapi ia memilih Nigeria sebagai kewarganegaraannya. Tepat setelah Odemwingie bergabung bersama West Bromwich Albion pada 2010 lalu, fans Lokomotiv Moscow (klub Odemwingie sebelum  bergabung dengan West Brom) langsung membuat spanduk yang bertuliskan "Thanks West Brom"/Terimakasih West Brom” dengan terdapat gambar pisang pada spanduk tersebut.

3. Pada 12 Februari 2012, Roberto Carlos menandatangani kontrak dengan  klub asal Rusia yakni Anzi Machakala. Kejadian rasisme terhadap Roberto Carlos terjadi ketika Anzhi Machakala bertandang ke Zenit ST Petersburg dalam lanjutan Liga Primer Rusia. Dalam pertandingan tersebut salah satu fans Zenit melemparkan sebuah pisang di dekat Roberto Carlos pada saat ceremony pembukaan pertandingan.

4. Terbaru adalah rasisme yang dilakukan oleh penyerang asal Rusia yang pernah bermain di Primier League yakni  Pavel Pogrebnyak. Pada bulan Maret 2019, ia mengkritik pemerintah Rusia terkait pemberian kewarganegaraan untuk orang berkulit hitam. Pogrebnyak mengatakan "Saya tidak mengerti maksudnya. Saya sama sekali tidak mengerti mengapa Ari (striker Krasnodar asal Brasil) menerima paspor Rusia. Sangat menggelikan ketika seorang pemain kulit hitam mewakili tim nasional Rusia".

Sebenarnya masih banyak lagi kasus rasisme yang terjadi pada persepakbolaan Rusia. Lalu bagaimana pandangan dari federasi sepak bola rusia atau Rusian Football Union's (RFS) mengenai rasisme yang terjadi ?

Sebelum pergelaran Piala Dunia dua tahun lalu di Rusia, RFS melakukan aksi “say no to racism” agar menjaga keamanan dan kenyamanan saat menonton pertandingan. Komisioner dari RFS  yakni Vitaly Mutko mengatakan kepada media ESPN bahwa “Bagi kami, di Rusia adalah sebuah tantangan dan tanggung jawab. Dan saya pikir ini adalah solusi yang sempurna.

FIFA tidak memiliki kompromi mengenai rasisme. Adapun Rusia, Federasi Rusia dan sepak bola Rusia telah mengambil tindakan lebih keras di Rusia. “Ini adalah masalah yang bukan murni di Rusia saja. Ini ada di mana-mana dan, tentu saja, FIFA sedang memerangi fenomena ini. Kami akan mendukung FIFA dan dalam upaya bersama kami, kami akan mencoba untuk menaklukkan ini (rasisme),“ ungkapnya. Walaupun tetap kecolongan ketika salah satu fans menyebut Dany Rose dengan sebutan "laughable" atau “menggelikan” terhadap dirinya.

Memang tindakan rasisme adalah hal yang seharusnya tidak dilakukan pada dunia olahraga seperti sepak bola yang menjunjung tinggi nilai sportivitas. Sepak bola sebagai industri yang besar dan olahraga yang memiliki banyak penggemar dari seluruh dunia akan bisa membuat orang yang menontonnya bahagia apabila tindakan rasisme tidak dibersamai di dalamnya.

Gerakan “say no to racism” sudah banyak digalakkan di berbagai macam liga saat ini,baik level domestik maupun internasional. Tidak nyaman rasanya bila suatu pertandingan yang seru dan menarik harus diwarnai saling hina menghina apalagi menimbulkan kekacauan yang tidak ada esensinya sama sekali.

Ada sebuah pernyataan dari seorang pesepakbola asal Senegal, yakni Kalidou Koulibaly yang pernah terkena rasisme dalam beberapa pertandingan di Seria A, ia mengatakan bahwa “Ketika Anda tumbuh dewasa di lingkungan anda, Anda akan melihat semua orang sebagai saudara Anda. Kita berkulit hitam, putih, Arab, Afrika, Muslim, Kristen ,ya tentu, tetapi kita semua sama-sama orang Prancis. Kita semua merasakan yang namanya lapar, jadi mari kita makan bersama. Atau  mari kita semua pergi ke rumah saya (koulibaly) dan makan makanan Senegal. Ya, kami tentu memiliki perbedaan, tetapi kami semua sama”. ungkapnya kepada theplayerstribune.com ketika bercerita masa kecilnya di Prancis.

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network