Kisah Pengaturan Skor Marseille Demi Kalahkan AC Milan di Liga Champions

"Peristiwa itu terjadi musim 1992/1993. Marseille pernah jadi raja sepakbola Prancis dan Eropa karena gelimang uang Bernard Tapie."

Feature | 11 January 2021, 06:44
Kisah Pengaturan Skor Marseille Demi Kalahkan AC Milan di Liga Champions

Libero.id - Salah satu alasan Paris Saint-Germain membangun kekuatan adalah untuk menyamai catatan sang rival abadi, Marseille. L'Oheme merupakan klub Prancis pertama yang juara Liga Champions serta penguasa Ligue 1 sebelum terbongkarnya skandal pengaturan skor.

Marseille pernah jadi raja sepakbola Prancis dan Eropa pada awal dekade 1990-an. Tiga tahun beruntun L'Oheme menjadi kampiun Ligue 1 saat masih bernama Division 1 dan 1 kali sukses di Liga Champions 1992/1993.

Para era tersebut, mereka dihuni pesepak bola-pesepak bola top dunia seperti Didier Deschamps, Jean Pierre Papin, hingga Marcel Desailly. Seperti PSG masa kini yang bergelimang uang, tidak ada tim di Negeri Mode yang mampu menghadapi kehebatan para pemain mahal Marseille.

Sayang, di tengah kegemilangan pemain-pemain Marseille, muncul berita kurang menggembirakan dari otoritas hukum Prancis. Bos besar mereka, Bernard Tapie, ditetapkan sebagai aktor utama skandal pengaturan skor.

Seperti Calciopoli 2006 di Italia, skandal itu juga menyita perhatian banyak orang di Eropa dan seluruh dunia.  Semuanya berawal dari final Liga Champions yang akan dijalani Marseille kontra AC Milan di Olympiastadion, Muenchen. Itu menjadi momen bersejarah yang ditunggu fans Marseille setelah gagal di final 1990/1991.

Beberapa hari sebelum pertandingan melawan I Rossoneri dilaksanakan, Marseille menghadapi pekan penentuan kompetisi domestik melawan Valenciennes. Jika menang, gelar juara kompetisi elite Prancis akan menjadi milik klub dari Provinsi Cote d'Azur tersebut.

Manajemen Marseille tidak ingin mengambil risiko terkait cedera pemain. Agar trofi Ligue 1 didapat dan klub tetap bisa full team melawan Milan, laga melawan Valenciennes harus dimenangkan dengan mudah. Caranya, menyuap para pemain Valenciennes.

Marseille mengambil opsi tersebut karena belajar dari pengalaman 2 musim sebelumnya. Saat itu, mereka kalah secara menyakitkan dari Red Star Belgrade setelah beberapa pemain inti absen. Mereka cedera akibat dipaksa bermain di pertandingan liga, beberapa hari sebelumnya.

Untuk memuluskan misi besar itu, para petinggi Marseille menyusun siasat licik. Selaku Presiden klub, Tapie, bersama General Manager, Jean-Pierre Bernes, menyediakan dana segar dari hasil penjualan tiket pertandingan kandang bagi sejumlah punggawa Valenciennes. Mereka antara lain Jorge Burruchaga, Jean-Jacques Eydelie, dan Christophe Robert.

Marseille juga berusaha menyuap Jacques Glassmann. Tapi, permintaan itu  ditolak. Justru, di kemudian hari, Glassmann menjadi orang yang membuka suara terkait skandal itu. Pada 1995, mantan gelandang tengah itu mendapatkan penghargaan bergengsi, FIFA Fair Play Award.  

"Bernard (Tapie) berkata kepada saya untuk berkoordinasi dengan dua mantan pemain Nantes di klub kami (Burruchaga dan Robert). Itu agar kami tidak bertindak seperti orang idiot (cara mengalah agar tidak ketahuan) yang justru akan menghancurkan Marseille di final (Liga Champions) melawan Milan," kata Eydelie dalam kesaksiannya, dilansir The Guardian.

Tapie berhasil merancang skenario indah. Saat pertandingan berlangsung, para pemain kedua kubu tetap tampil serius. Wasit, ofisial, pemain lain, hingga suporter tidak curiga dengan skor 1-0 yang tercipta untuk Marseille.

Namun, sepandai-pandainya tupai melompat, pasti jatuh juga. Setelah skandal itu terbongkar, efek berantai muncul. Dimulai dengan pengunduran diri Tapie untuk digantikan Pierre Cangioni, otoritas yang berwenang di Negeri Mode segera menggelar investigasi.

Asosiasi Sepakbola Prancis (FFF) mengambil keputusan Tapie dan Bernes dijatuhi skorsing seumur hidup. Mereka dilarang ambil bagian pada aktivitas sepakbola di Prancis selamanya pada semua tingkatan.

Kasus tersebut juga dibawa ke peradilan umum. Persidangan berlangsung di Pengadilan Valenciennes mulai Maret 1995. Selama persidangan, Bernes dan Eydelie mengaku melakukan korupsi, dan keduanya menyalahkan Tapie atas insiden tersebut. Bernes mengklaim klub menggunakan suap untuk pertandingan 5 sampai 6 kali dalam satu musim.

Putusan pengadilan diberikan pada 15 Mei 1995. Tapie dijatuhi hukuman 2 tahun penjara untuk penyuapan, 8 bulan untuk pengaturan skor, dan 18 bulan untuk penipuan di rekening klub. Tapie juga didenda 20.000 franc. Tapie sempat mendekam 6 bulan di penjara sebelum diberikan pembebasan bersyarat karena berkelakuan baik.

Sementara Bernes, Eydelie, Robert, dan Burruchaga, semuanya juga dijatuhi hukuman penjara. Eydelie 1 tahun, Burruchaga dan Robert percobaan 6 bulan, serta Bernes percobaan 2 tahun dan denda.

Hukuman juga berimbas pada Marseille. Gelar L'Oheme dicopot. Mereka dipaksa turun kasta ke Ligue 2 pada 1994/1995, meski tetap diizinkan bermain di Piala UEFA. Lalu, pada 1995, klub dari Prancis Selatan tersebut dinyatakan bangkrut dan tetap bermain di Ligue 2 hingga kembali ke Ligue 1 pada 1996/1997.

Ketika kembali ke kasta tertinggi kompetisi Prancis, Marseille membutuhkan waktu yang sangat lama untuk bangkit. Tercatat, gelar Ligue 1 baru kembali didapatkan pada 2009/2010. Sementara untuk ajang antarklub Eropa, Marseille seperti dikutuk. Mereka tampil pada final Piala UEFA (Liga Eropa) 1998/1999, 2003/2004, 2017/2018 dan selalu kalah.

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network