Kisah New York City Juara MLS Setelah Ditinggal Lampard, Pirlo, David Villa, dkk

"Dengan bintang hasilnya minor. Dengan pemain biasa-biasa saja, justru juara. Unik!"

Biografi | 16 December 2021, 07:16
Kisah New York City Juara MLS Setelah Ditinggal Lampard, Pirlo, David Villa, dkk

Libero.id - Tujuan klub membeli bintang adalah untuk mempermudah jalan menuju podium juara. Tapi, bagaimana jika setelah kepergian para superstar klub justru menjadi juara? Kisah unik itu baru saja dialami New York City di MLS.

NYC adalah Manchester City versi Amerika Serikat. Mereka merupakan tim MLS yang menjadi bagian dari keluarga besar City Football Group milik Sheikh Mansour bin Zayed Al Nahyan. Jadi, sangat masuk akal jika New York memutuskan mendatangkan pemain-pemain bintang dunia di masa lalu.

Berada di bawah payung City Football Group, New York cenderung membanggakan diri karena menjadi klub dengan pengeluaran terbesar di MLS. Pada 2017 misalnya, mereka memiliki tagihan gaji terbesar kedua di MLS lain di belakang Toronto FC. 

Mereka pernah memiliki Andrea Pirlo, Frank Lampard, hingga David Villa. Tapi, Villa tidak pernah mengantarkan trofi MLS untuk New York. Begitu pula Pirlo dan Lampard. Nama-nama itu memang menempatkan New York di peta perburuan gelar dalam beberapa tahun pertama berada di klub. Tapi, tidak banyak diperhitungkan selama play-off.

Tim ini juga sempat dilatih Patrick Vieira. Sayang, mereka menyelesaikan musim 2017 di tempat kedua di Wilayah Timur. Mereka gagal melewati semifinal di play-off. 

Ketika Pirlo, Vieira, dan Jack Harrison pergi enam bulan kemudian, jelas bahwa New York telah kehilangan kesempatan untuk menjadi klub bertabur bintang seperti yang dilakukan Los Angeles Galaxy saat memiliki David Beckham, Robbie Keane, Steven Gerrard, Zlatan Ibrahimovic, dan rekan-rekannya.

Perbedaannya adalah New York mendapati diri mereka terjebak di tengah-tengah transisi liga. MLS 2.0 didefinisikan oleh nama-nama bintang yang tertarik ke Amerika Utara di era Beckham, Kaka, Didier Drogba, Sebastian Giovinco, dan Gerrard. Sedangkan MLS 3.0 lebih fokus untuk menciptakan bintang mereka sendiri melalui perekrutan yang lebih baik dan lebih cerdas.

Atlanta United menunjukkan jalannya dengan mengerahkan sumber daya yang cukup besar dan merekrut pemain muda terbaik dari Amerika Selatan yang bisa didapatkan dan memenangkan MLS di musim kedua mereka. Los Angeles FC mengikuti model ini ketika bergabung dengan MLS. Dan, sekarang New York juga mengikuti cara itu.

Hanya dua bulan setelah Villa meninggalkan Bronx ke Vissel Kobe di Jepang, New York menghabiskan USD9,1 juta (Rp130 miliar) untuk mendatangkan pemain depan Rumania yang menjanjikan, Alexandru Mitrita, dan sekitar USD4 juta dolar (Rp57 miliar) untuk striker Brasil, Heber.

Di tahun berikutnya, klub mengontrak pemain muda Uruguay, Nicolas Acevedo, dengan harga sekitar USD3,5 juta (Rp50 miliar), kemudian USD 8 juta (Rp114 miliar) untuk remaja Vasco de Gama, Talles Magno, pada 2020. Kebijakan transfer mereka jelas telah berubah.

Pengangkatan Ronny Deila sebagai pelatih kepala juga menjadi bukti bahwa New York mengambil pendekatan yang berbeda. Meski memenangkan gelar back-to-back selama menjadi pelatih Glasgow Celtic di Skotlandia, Deila tidak terlalu sukses di MLS. 

Tidak seperti Vieira yang memiliki karier bermain cemerlang bersama Arsenal dan Prancis, Deila bahkan tidak memiliki hubungan dengan City Football Group seperti yang dimiliki Domenec Torrent (mantan asisten). Atau, Vieira sendiri yang mantan pelatih di tim junior Man City.

Dibebaskan dari target tinggi, New York melakukan pekerjaan yang baik dalam mengukir identitas mereka sendiri dalam beberapa musim terakhir. Mereka masih menggunakan seragam yang sama dengan Man City. Begitu pula sebutannya "The Citizens". Tapi, lalu-lintas pinjaman antara dua klub bersaudara itu telah berhenti.

Ada tanda-tanda sepanjang musim reguler 2021, terutama di bulan terakhir, bahwa New York bersiap untuk menghadapi play-off. Memang, tim Deila mengakhiri kampanye reguler dengan empat pertandingan tak terkalahkan yang mencakup kemenangan 6-0 atas DC United. 

Dengan Valentin Castellanos dalam skuad, New York memiliki pemenang Sepatu Emas MLS 2021 dan seorang pemain yang mewujudkan bagaimana mereka telah berubah sebagai sebuah klub. 

Tidak banyak kemeriahan ketika pemain muda Argentina itu tiba di Bronx dengan kesepakatan pinjaman dari klub Uruguay, Torque, pada musim panas 2018, layaknya kedatangan Pirlo atau Villa. Tapi, talent scout klub telah mengenali potensinya. Pelatihan yang baik telah mendorongnya melangkah lebih jauh.

Di sisi lain, pemain veteran seperti Maxi Moralez dan Sean Johnson menjadi semakin penting untuk menunjang permainan tim yang semakin matang. Sementara pemain seperti Jesus Medina, James Sands, Malte Amundsen, Santiago Rodriguez, dan Keaton Parks memberi tenaga segar sebagai pemain muda. 

MLS sering kesulitan terkait masalah keuangan. Hal ini diperburuk oleh batasan gaji dan pembatasan daftar lainnya. Tapi, New York telah mencapai keseimbangan yang lebih baik.

Dan, hasil dari perubahan di New York terlihat nyata pada akhir pekan lalu. Itu karena New York mengalahkan Portland Timbers di final. Pertandingan di Providence Park, kandang Timbers, itu berakhir imbang 1-1 selama 120 menit. The Citizens akhirnya memetik kemenangan adu penalti 4-2. 

Cara New York ini layak dicontoh klub-klub di Indonesia yang masih menganggap bintang besar bisa menghadirkan gelar juara!

(diaz alvioriki/anda)

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network