Kisah Red Star Paris: Klub Antitesis PSG, Didirikan Jules Rimet, Berciri Sosial

"Jika anda tahu kisah St Pauli di sepakbola Jerman, Red Star Paris mirip."

Biografi | 05 November 2021, 19:15
Kisah Red Star Paris: Klub Antitesis PSG, Didirikan Jules Rimet, Berciri Sosial

Libero.id - Paris Saint-Germain (PSG) dikenal dengan salah satu klub sepakbola terkaya di dunia. Les Parisiens punya nama-nama pesepakbola besar seperti Lionel Messi, Neymar, Angel di Maria, Georginio Wijnaldum, Mauro Icardi, Kylian Mbappe, dan masih banyak lagi lainnya.

Tapi, Paris ternyata bukan hanya PSG. Selain Paris FC di Ligue 2, ada beberapa klub kecil lain yang eksis di ibukota Negeri Mode tersebut. Salah satu yang jarang dibicarakan orang adalah Red Star Paris.

Meski memiliki arti bintang merah, seragam klub adalah hijau dan putih. Red Star didirikan pada 1897. Jauh lebih tua dari PSG, yang baru eksis pada 1970-an. Mereka berasal dari Saint-Ouen. Itu distrik di pinggiran kota di utara, tempat tinggal kelas pekerja yang beragam.

Yang mengejutkan adalah klub ini dibentuk oleh Jules Rimet. Siapa dia? Presiden legendaris FIFA, yang mempelopori Piala Dunia. Namanya digunakan sebagai nama trofi turnamen yang kini sah menjadi milik Brasil (juara tiga kali sebelum 1970).

Sayang, Red Star absen dari kompetisi papan atas sejak 1974/1975. Baru pada 2003, setelah era yang panjang, mereka memulai lagi segalanya dari nol, dari kompetisi kasta keenam. Pelan dan pasti, Red Star merangkak. Mereka sekarang berkompetisi di Championnat National atau kasta ketiga sepakbola Prancis di bawah Ligue 1 dan Ligue 2.

Red Star memilih jalur yang sangat berbeda dengan PSG dan Paris FC, meski sama-sama menargetkan prestasi. PSG saat ini dimiliki Qatar. Sementara Paris FC dikuasai Bahrain. Dan, Red Star mandiri menghidupi klubnya tanpa bantuan investor asing. Mereka mengandalkan suporter setianya yang rata-rata berusia senja.

"Apa yang menarik minat saya dalam sepakbola adalah arah kreatif, bagaimana membangun citra, dan menceritakan kisah klub di seluruh dunia. Red Star memiliki sejarah yang indah dan kuat sehingga layak untuk didengar oleh orang-orang," kata Direktur Red Star, David Bellion, kepada BBC Sport.

"Itu selalu visioner. Rimet membangunnya di sekitar gagasan tidak ada status sosial, sebagai asosiasi olahraga, dan sastra. Bukan hanya sepakbola, itu untuk mempromosikan keseimbangan kelas sosial," tambah Bellion.


Klub idealis berciri sosial

Seperti cita-cita Rimet saat mendirikan Red Star, manajemen klub saat ini juga tidak pernah lupa dengan ciri sosialnya. Jersey Red Star musim ini misalnya, menampilan "velcro badges". Itu adalah logo klub yang dapat disesuaikan dengan pesan-pesan sosial bertuliskan "Selamat Datang Pengungsi".

Mereka juga disponsori oleh LinkedOut. Itu sebuah proyek sosial di Prancis yang membantu orang-orang miskin dan tunawisma serta yang kurang beruntung untuk mencari pekerjaan.

Musim lalu, jersey mereka digunakan sebagai alat pendidikan. Mereka menyajikan pola yang menampilkan landmark bersejarah penting untuk merayakan multikulturalisme di daerah tersebut dan termasuk gambar Rino Della Negra. Dia adalah mantan pemain Red Star dan pejuang dieksekusi Nazi selama Perang Dunia II.

"Kami mengembangkan beberapa ide yang sangat bagus karena kami tidak takut bagaimana menafsirkannya. Yang kami inginkan hanyalah ikhlas. Ini sangat dalam. Kami tidak berpura-pura. Kami tidak membeli budaya, karena kami tidak mampu. Tapi, kami senang menciptakan budaya. Itu sebabnya kami melakukan sesuatu secara berbeda," ungkap Bellion.

Pada 2016, pria berusia 38 tahun itu menyelesaikan karier bermainnya di Red Star. Lalu, Presiden Red Star, Patrice Haddad, memintanya bergabung. Haddad mengambil alih klub pada 2008 saat klub ada di kasta keempat dan telah dua kali membawa Red Star promosi ke Ligue 2. Tapi, mereka terdegradasi pada 2019.

Dalam beberapa tahun terakhir, basis penggemar global Red Star telah tumbuh secara organik berkat filosofi unik mereka. Mereka telah dibandingkan dengan klub idealis St Pauli di Jerman.

"Suatu hari saya berada di Tokyo. Kami bermain sepakbola di sana, dan saya melihat seorang pria yang memiliki jersey Red Star berwarna oranye. Kami hanya memproduksi 20 untuk Colette, sebuah toko di Paris!" ucap Bellion.

"Tapi, itu tidak membuat kami kaya. Tapi, ketika anda melihat itu dan memikirkan tentang cinta dan semangat yang kami berikan di sekitar klub, tentu saja anda merasakan kebahagiaan hanya untuk mengatakan itu berhasil, bahwa beberapa orang tersentuh oleh cerita ini," ungkap Bellion.

"Kami ingin menggunakan klub sepakbola untuk mengirim pesan. Kami ingin mereka menjadi warga negara yang gagah. Kami perlu melatih tubuh dan memberi makan pikiran," tambah Bellion.


Bukan rival PSG atau Paris FC

Untuk melakukan ini, klub meluncurkan Red Star Lab. Ini semacam sekolah kejuruan yang menyelenggarakan lokakarya untuk membantu para pemain akademi belajar dan mendapatkan inspirasi dari pekerjaan di luar sepakbola. Salah satu favorit Bellion adalah melihat para remaja membuat sepatu bola sendiri dengan pengrajin lokal.

"Kita tahu bahwa mungkin satu anak dari satu generasi akan menjadi seorang profesional. Jadi, bagaimana dengan yang lain? Kami memberi mereka gairah lain untuk dicoba. Fotografi, fashion, musik. Gratis! Mereka menonton, mereka belajar," kata Bellion.

"Jika 10 tahun ke depan anda melihat salah satu dari anak-anak itu mengatakan saya bekerja di BBC karena saya jatuh cinta dengan media. Yang satu mengatakan saya bekerja di Nike, satu di StockX, satu di pameran seni. Ini adalah kemenangan lebih penting daripada memenangkan Liga Champions," beber Bellion.

Bellion mengatakan klubnya tidak memiliki masalah dengan PSG seperti beberapa klub Prancis yang iri dengan uang Qatar. Dia bercanda bahwa Red Star adalah Rolling Stones dan Les Parisiens The Beatles. Dia mengatakan klub harus saling menghormati. 

"Anak saya suka menonton Kylian Mbappe dan Neymar. Itu normal. Menonton pertandingan besar adalah hiburan. Tapi, itu adalah blockbuster dalam hal semua pemasaran," kata Bellion.

"Kami tidak dapat membandingkan diri kami dengan PSG. Apa yang mereka lakukan adalah fantastis untuk penonton mereka sendiri. Dan, penonton PSG adalah penonton blockbuster," tambah Bellion. 

"Bahkan, jika kami memiliki uang sebanyak itu, kami tidak akan melakukan itu karena kami lebih tertarik pada hal-hal indie. Tapi, kami juga bisa bekerja dengan Foot Locker. Kami bekerja dengan Vice. Kami tidak melihat diri kami sebagai orang sombong karena kami mendalami hal ini. Jenis budaya, itulah yang kami suka, itulah getaran kami," ungkap Bellion.

"Kami memiliki cara berpikir yang berbeda, cara berkomunikasi yang berbeda. Kami menarik penonton yang ingin kami tarik dan semua orang disambut, kecuali orang-orang yang homofobia, fasis. Jika mereka melakukan kebencian di stadion kami, mereka tidak diterima. Tapi, itu belum pernah terjadi sebelumnya," beber Bellion.

"Bagi saya pondasinya adalah pemuda. Dan, saya yakin kami melakukan pekerjaan dengan baik. Penting untuk serius tentang sepakbola. Tapi, tidak menganggap diri kami serius. Ada hal-hal yang lebih penting daripada sekadar menendang bola," pungkas Bellion.

(atmaja wijaya/anda)

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network