Analisis Timnas Era Shin Tae-yong, Tidak Ada Lagi Umpan Panjang Asal-asalan

"Jika dibandingkan dengan era Simon McMenemy, sangat jauh perbedaannya."

Analisis | 12 October 2021, 16:46
Analisis Timnas Era Shin Tae-yong, Tidak Ada Lagi Umpan Panjang Asal-asalan

Libero.id - Penampilan tim nasional Indonesia era Shin Tae-yong mulai menunjukkan tanda-tanpa yang bagus setelah dua kemenangan atas Taiwan didapatkan. Meski ada kebiasaan lama yang belum sepenuhnya hilang, secara umum pasukan Garuda memiliki masa depan.

Tampil di Chang Arena, Buriram, Senin (11/10/2021), Indonesia sukses membungkam Taiwan 3-0 lewat Egy Maulana Vikri pada menit 27, Ricky Kambuaya (54), dan Witan Sulaeman (90+3).

Sebelumnya, skuad Garuda juga meraih kemenangan 2-1 di leg pertama, Kamis (7/10/2021). Dua gol pasukan Merah-Putih saat itu diproduksi Ramai Rumakiek memanfaatkan assist Miftah Anwar Sani dan Evan Dimas Darmono menyongsong umpan manis Kushedya Hari Yudo. Total, Indonesia unggul agregat 5-1 untuk lolos ke Kualifikasi Piala Asia 2023.

Jika anda pendukung timnas sejak zama Orde Lama, anda pasti tahu perbedaan permainan tiap generasi. Sebut saja di era terkini. Perbedaan mencolok akan terlihat saat Indonesia dilatih Simon McMenemy dan Tae-yong.


Era kegelapan bersama Simon McMenemy

Pertama, McMenemy lebih banyak memanggil pemain tua. Beberapa pesepakbola naturalisasi juga menghiasi starting line-up timnas pada fase-fase awal Kualifikasi Piala Dunia 2022 Zona Asia. Nama-nama seperti Beto Goncalves, Osas Saha, Otavio Dutra, hingga Ilija Spasojevic benar-benar diandalkan pria asal Skotlandia itu.

Hasilnya sangat mengecewakan. Di menit-menit awal timnas memang bermain bagus. Umpan-umpan satu dua sentuhan berjalan bagus. Kecepatan yang dikombinasikan kemampuan teknis individu membuat Indonesia main layaknya Spanyol atau Brasil.

Tapi, ketika memasuki menit 50, 55, 60, para pemain loyo. Fisik lemah, konsentrasi pudar, dan organisasi pertahanan kacau. Contohnya saat menderita comeback dari Malaysia atau dibantai Thailand pada September 2019.

Ciri kedua dari era McMenemy adalah permainan individualistis yang akan berubah menjadi "bola panjang asal-asalan" saat pemain bingung. Entah itu taktik atau kebiasaan buruk, faktanya pemain-pemain Indonesia akan memainkan bola di pertahanannya sendiri, lalu mengirim bola panjang ke striker.

Biasanya, mereka akan mengalirkan bola dari kaki ke kaki atau menunjukkan keterampilkan teknik jempolan. Masalahnya, itu di pertahanan sendiri yang sangat rawan diseruduk lawan.

Lalu, saat buntu, bola baru dialirkan ke depan. Bukan dengan umpan pendek atau keterampilan teknik, melainkan umpan panjang langsung ke kotak penalti. Dengan transisi permainan yang sangat buruk, banyak pemain tidak tahu kapan bola diumpan, digiring, atau dieksekusi.

Akibatnya sangat fatal! Pemain depan Indonesia berpostur pendek. Mereka mendapatkan umpan bola panjang melawan bek lawan yang jangkung. Tanpa perlu melihat jalannya pertandingan, bola sudah pasti mudah dihalau lawan yang akan segera langsung menyerang ke pertahanan Indonesia.

Kondisi itu diperparah ketika pemain depan kehilangan bola. Lini tengah dan belakang selalu terlambat mengantisipasi serangan. Kesalahan-kesalahan dasar individu sering dijumpai. Malangnya, itu terjadi di area terlarang. Bahkan, jika pemain stres, tekel kasar jadi solusi. Bahkan, di kotak penalti.


Pemain dipaksa beradaptasi dengan ShinTae-yong

Lalu, jika dibandingan dengan timnas era Tae-yong, bagaimana bentuknya? Layaknya Luis Milla saat pertama kali datang ke Indonesia, Tae-yong memiliki konsep dan filisofinya sendiri. Dia tidak beradaptasi dengan pemain, melainkan skuad timnas yang harus bisa mengikuti dirinya.

Langkah awal Tae-yong justru terkesan sepele dan tidak pernah diperhatian pelatih-pelatin timnas sebelumnya. Pertama, makanan. Kedua, disiplin. Larangan makan gorengan, sambal, hingga nasi sempat membuat banyak pemain kaget. Pasalnya, itu adalah makanan pokok orang Indonesia.

Selanjutnya, dalam hal disiplin, Tae-yong tidak memiliki toleransi. Pemain yang tidak datang pelatnas, langsung dicoret dan tidak akan pernah dipanggil lagi. Dia tidak peduli apakah pemain itu bagus atau tidak. Bagi Tae-yong, disiplin adalah harga mati. Contohnya, Yanto Basna, Elkan Baggot, dan Rifad Marasabessy. 

Ketegasan Tae-yong sempat membuat beberapa pemain timnas U-19 meradang akibat dicoret. Alasannya, terlambat datang latihan. Contoh kasunya Serdi Ephy Fano dan Ahmad Afhridrizal.

Setelah membenahi masalah non teknis, Tae-yong melanjutkannya ke hal teknis. Terlihat perbedaan mencolok dengan skuad asuhan McMenemy. Dari segi usia, pemain-pemain yang tampil di Uni Emirat Arab (UEA) pada Juni 2021 adalah anak-anak muda berusia 19, 20, 21, 22 tahun. Hanya beberapa yang di atas 25 tahun. 

Selain usia, postur juga menjadi perhatian serius Tae-yong. Lihatlah beberapa pemain depan Merah-Putih yang memiliki postur 180 cm. Ini melawan pakem yang selama ini berlaku di Indonesia bahwa banyak pemain hebat dengan postur kecil, tapi memiliki kelincahan. 

Dengan pemain-pemain muda, fisik menjadi menu latihan Tae-yong berikutnya. Lihatlah di fase-fase awal pembentukan timnas U-19 yang lebih banyak berlatih kebugaran, tanpa bola, dan membentuk tubuh agar berotot. 

Hasilnya terlihat di UEA maupun saat menghadapi Taiwan. Jika di masa lalu daya tahan pemain hanya 60 menit, sekarang bisa 90 menit. Meski tidak selalu lancar, setidaknya para pemain telah membuktikan diri mampu berkonsentrasi sepanjang pertandingan melawan tim dengan kemampuan bagus. 

Keunggulan fisik timnas ternyata juga berdampak pada permainan di lapangan. Bola-bola panjang yang langsung diumpan dari bek tengah kepada penyerang kini tidak lagi terlihat. Pemain terlihat sangat sabar untuk membongkar pertahanan lawan. 

Yang paling menggembirakan adalah kebiasaan berlama-lama dengan bola sekarang sudah tidak tampak lagi. Pemain sekarang akan sudah tahu kapan harus mengumpan dan kapan saatnya menggiring bola. Umpan satu dua sentuhan terlihat sangat dominan. 

Sangat jarang melihat pemain Indonesia melakukan gerakan yang tidak penting seperti mengiring bola atau mengumpan di area penalti yang pada akhirnya bola jatuh ke kaki lawan. 

Kondisinya semakin membanggakan karena pemain juga mulai memahahi "transisi permainan". Lihatlah saat bola berada di kaki lawan. Tekanan akan langsung diberikan kepada pemain terdekat. Saat di UEA, strateginya adalah pressing di pertahanan sendiri. Sementara saat melawan Taiwan di pertahanan lawan.

Meski ada banyak hal positif yang terjadi, perjalanan masih sangat panjang. Konsistensi harus terus dipertahankan. Apalagi, Taiwan bukanlah lawan yang setangguh Vietnam, Thailand, atau Malaysia.

(andri ananto/anda)

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network