Kisah Kematian Filippo Raciti, Hari Paling Kelam dalam Sejarah Sepakbola Italia

"Ini terjadi pada 2007 atau beberapa bulan setelah Calciopoli. Setelah itu, wajah Serie A berubah total."

Feature | 28 September 2021, 19:02
Kisah Kematian Filippo Raciti, Hari Paling Kelam dalam Sejarah Sepakbola Italia

Libero.id - Pada 2 Februari 2007, atau hanya beberapa bulan setelah skandal memalukan Calciopoli dan kemenangan Italia di Piala Dunia 2006, sepakbola di Negeri Pizza kembali diguncang kasus. Kali, ini kerusuhan paling mematikan dalam sejarah Serie A yang mengubah wajah "lega calcio" untuk selamanya. 

Saat itu, Deby Sisilia antara Catania dengan Palermo akan digelar di Stadio Angelo Massimino, Catania. Awalnya, jadwal pertandingan disepakati 4 Februari 2007. Itu adalah Minggu sore yang cerah.

Namun, berhubung pertandingan paling panas di Pulau Sisilia tersebut bertepatan dengan acara keagamaan penting di Catania, Fiesta San Agatha, Serie A memutuskan memajukan pertandingan dua hari. Itu Jumat dan laga digelar pada malam hari.

Polisi sebenarnya mengajukan keberatan karena deteksi intelijen menunjukkan pertandingan Derby Sisilia di malam hari dan dalam kegelapan berpotensi menyulitkan aparat bertindak jika hal-hal kurang baik terjadi di lapangan. 

Tapi, sebagai petugas yang menerima perintah atasan, mereka tidak bisa berbuat banyak. Dalam upaya untuk melayani masyarakat dan mencegah terjadinya kekerasan, Polisi Catania mengerahkan sekitar 1.500 petugas. Jumlah itu tiga kali lipat dari laga-laga biasanya. Bahkan, mereka mendatangkan personel dari kota-kota sekitar Catania, termasuk dari Palermo.

Awalnya, pertandingan dimulai sesuai jadwal. Tapi, yang sangat mencolok dari pertemuan itu adalah sedikitnya penggemar Palermo yang datang ke Stadio Angelo Massimino. Tiba-tiba, beberapa menit setelah babak kedua dimulai, pendukung tandang mulai masuk ke lapangan dan membuat ketegangan semakin tinggi.

Setelah pendukung Palermo masuk, skor 1-0 untuk tim tamu berkat gol kontroversial Andrea Caracciolo. Gol itu direspons dengan lemparan bom asap, flare, dan petasan. Itu memaksa polisi untuk membalas dengan melemparkan tembakan gas air mata. 

Laporan kemudian mulai muncul tentang masalah yang timbul di luar lapangan. Di sana, Polisi yang mengawal penggemar Palermo ke lapangan telah diserang oleh penggemar Catania. Dan, apa yang terjadi selanjutnya adalah anarki. 

Video yang dapat dilihat di YouTube menunjukkan adegan yang mirip dengan zona perang, ketika area di sekitar stadion terbakar dan kerusuhan terjadi. Sementara itu, di dalam stadion pertandingan terus dimainkan. Itu sampai menit 60, ketika wasit menghentikan permainan karena gas air mata yang digunakan polisi mengganggu para pemain.

Di antara petugas yang berusaha mengendalikan kerusuhan adalah Filippo Raciti. Ditengah kekacauan, Raciti diserang dan dihantam oleh batu. Itu bukan batu biasa. Seperti yang dikatakan beberapa orang saksi, itu adalah pecahan wastafel dari toilet stadion yang sengaja dihancurkan. 

Meski merasakan sakit, Raciti tetap menjalankan tugasnya. Itu sampai kembang api mendarat di dekatnya dan meledak. Salah satu rekan Raciti kemudian menjelaskan bahwa setelah mendengar ledakan, dia berlari membantu Raciti. Ketika dia mencapai rekan perwiranya itu, Raciti mengatakan kepadanya: "Jangan khawatir tidak apa-apa. Tapi, bawa saya ke rumah sakit. Saya tidak enak badan".

Kurang dari tiga jam kemudian, Raciti meninggal dunia di usia 38 tahun. Penyebab kematiannya terungkap sebagai trauma pada hati yang disebabkan oleh benda tumpul. Anehnya, ketika seorang istri dan dua putranya khawatir dan berduka, pertandingan di stadion dimulai kembali dan Palermo keluar sebagai pemenang.

Lahir di Catania,  Raciti bergabung dengan Kepolisian Nasional Italia pada Juni 1986. Dia tinggal di Acireale, di Provinsi Catania, bersama istri dan dua anaknya, berusia 15 dan 9 tahun.

Seminggu sebelum kematiannya, Raciti berurusan dengan ultras ketika memberikan bukti di persidangan seorang perusuh sepakbola, yang kemudian dibebaskan oleh hakim setempat. Menurut salah satu rekannya, hooligan itu tertawa terbahak-bahak saat meninggalkan pengadilan. 

Karena itu, muncul teori konspirasi tentang kematian Raciti. Tapi, bukti dan proses persidangan menyatakan hal sebaliknya. Pengadilan kemudian menghukum Antonino Speziale dengan 14 tahun penjara karena pembunuhan terhadap Raciti. Pada saat kejadian, Speziale baru berusia 17 tahun.

Pada akhirnya, kematian Raciti benar-benar memicu kemarahan di Italia, dengan solidaritas yang besar dan agak tidak biasa terhadap pasukan penegak hukum Italia, dan liputan besar-besaran di seluruh dunia.

Pada 17 Februari 2007, dewan kota Quarrata, di Tuscany, menyetujui proposal untuk menamai stadion sepakbola lokal dengan nama polisi Italia tersebut. Sebuah upacara resmi, yang juga dihadiri oleh istri Raciti, digelar pada 10 Maret. Itu menjadikan Quarrata kota pertama yang menamai stadion dengan namanya. 

Dan, yang paling penting dari semua tragedi itu adalah pelajaran yang dipetik. Setelah insiden di Catania, Serie A memberlakukan regulasi stadion yang super ketat. Tiket tanpa kursi dan nomor tempat duduk dilarang. Identitas lengkap yang meliputi nama, NIK, dan alamat tertulis di tiket.

Sebelum masuk stadion, suporter dilakukan pemeriksaan ketat. Flare, bom asap, hingga petasan dilarang. Tongkat untuk mengikat bendera dan giant banner harus didaftarkan terlebih dulu, dihitung secara cermat, dan harus ada penanggung jawabnya. 

Langkah FA dan Liga Premier di Inggris juga diadopsi Italia dengan memasang CCTV di setiap sudut stadion. Dan, yang paling krusial adalah kehadiran steward diantara suporter yang bertugas meredam kekerasan lebih dini.

(diaz alvioriki/anda)

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network