Kisah Daniel Nivel, Polisi Prancis Korban 'Aib Seluruh Jerman' di Piala Dunia 1998

"Mantan anggota Polisi Prancis itu menderita cacat seumur hidup."

Biografi | 19 April 2021, 13:05
Kisah Daniel Nivel, Polisi Prancis Korban 'Aib Seluruh Jerman' di Piala Dunia 1998

Libero.id - Piala Dunia 1998 dikenang sebagai salah satu era kelam sepakbola Jerman. Bukan hanya kekalahan memalukan dari "anak baru" Kroasia di perempat final, melainkan juga aksi brutal hooligans terhadap Daniel Nivel. Mantan anggota Polisi Prancis itu menderita cacat seumur hidup.

Kisah tragis itu terjadi pada 21 Juni 1998 di Lens. Saat itu, Nivel sedang bertugas bersama rekan-rekannya mengamankan pusat kota ketika pertandingan penyisihan Grup F antara Jerman dengan Yugoslavia digelar di Stade Felix-Bollaert.

Lokasi Lens ada di utara Prancis yang hanya membutuhkan 3 jam perjalanan darat dari perbatasan Jerman. Dengan hanya memiliki stadion dengan kapasitas 41.000 kursi, kota tempat RC Lens bermarkas tersebut dibanjiri lebih dari 100.000 orang Jerman. Tentu saja, mayoritas tanpa tiket dan dalam pengaruh alkohol.

Saat itu, pertandingan berakhir imbang 2-2. Selama sekitar 1 jam lebih, Der Panzer tertinggal 0-2 setelah Predrag Mijatovic dan Dragan Stojkovic menjebol gawang Andreas Koepke. Jerman selamat dari kekalahan setelah Sinisa Mihajlovic mencetak gol bunuh diri dan Oliver Bierhoff menyelamatkan muka Berti Vogts.

Hasil imbang, penampilan buruk, rumor keberadaan hooligans Inggris dan Yugoslavia di Lens, serta keberadaan ratusan Neo-Nazi yang membaur dengan suporter Jerman menjadi pemicu sempurna terjadinya kerusuhan. Provokasi bermunculan dari hooligan sayap kanan.

Mereka menyanyikan lagu-lagu Perang Dunia II ketika Nazi menguasai Prancis. Teriakan "Wir sind wieder einmarschiert!" (Kami menyerbu lagi) bergema di jalan-jalan kota yang sempit dan dalam cuaca musim panas yang mudah memancing emosi kerumunan.

Untuk mencegah kekerasan, Pemerintah Prancis menurunkan Polisi Lens dan Polisi Nasional, yang dibantu Gendarmerie (semacam Brimob di Indonesia). Sekelompok perusuh berbelok menuju Jln. Romuald Pruvost, di dekat stasiun utama. Di ujung jalan ada persimpangan yang dijaga oleh tiga Polisi, yang salah satunya Nivel.

"Kita akan lewat sana, hanya ada tiga (petugas), kita akan menjatuhkan mereka," teriak salah satu perusuh, menurut seorang saksi mata ketika berbicara dalam sidang dua tersangka utama, Frank Renger dan Andre Zawacki, di Pengadilan Lens, setahun kemudian, dilansir Deutsche Welle.

Kewalahan dengan situasi tersebut, dua Polisi memutuskan mundur sambil meminta bantuan Gendarmerie. Tapi, seorang Polisi berusia 43 tahun dan ayah dari dua anak, yang diketahui sebagai Nivel, sudah terlanjur dipukul perusuh menggunakan papan (rambu) nama jalan. Dia tersungkur di jalan.

Dalam kondisi tidak berdaya, tendangan dan pukulan menghujani Nivel bertubi-tubi. Dia kehilangan pistolnya, yang diambil oleh salah satu penyerang, dan digunakan untuk memukuli Nivel lebih jauh.

"Saya melihat helm Polisi itu terbang dan, seolah-olah disetrum, saya mulai menendang kakinya. Satu orang berlutut dan memukulnya dengan papan kayu. Yang lain berjaga-jaga dan berkata aman untuk terus berjalan. Mungkin karena frustrasi karena polisi telah mengepung di tempat lain. Rasanya seperti menendang bola," kata salah satu tersangka di sidang.

Serangan itu berlangsung  2 menit. Setelah para perusuh bubar, Nivel tidak bergerak dalam genangan darah di trotoar di depan rumah nomor 74. Dia menghabiskan 6 minggu dalam keadaan koma di rumah sakit di dekat Lille.

Insiden itu menyebabkan kemarahan di Prancis dan Jerman. Saat itu, Kanselir Jerman, Helmut Kohl, berbicara tentang "aib bagi seluruh negara". Media terbesar Jerman, Bild, memuat tajuk utama: "Wir schaemen uns!" (Kami malu). Presiden DFB saat itu, Egidius Braun, bahkan sempat mempertimbangkan untuk menarik Der Panzer dari turnamen.

Simpati langsung bermunculan di seluruh Jerman dan Prancis. Pada pertandingan Jerman berikutnya, melawan Iran, di Montpellier, pendukung Der Panzer memasang spanduk dengan pesan bertuliskan:  "Maaf, Prancis!" Mereka mengumpulkan ratusan ribu tanda tangan untuk Nivel dan keluarganya.

Tapi, semua sumbangan dan simpati dunia tidak bisa menyembuhkan luka Nivel. Ketika bangun dari koma, 6 pekan kemudian, dia lumpuh di salah satu sisi tubuhnya. Dia hampir tidak bisa melihat, berbicara, atau mencium. Dia tidak bisa bekerja sebagai anggota Polisi lagi atau hanya duduk di kantor sebagai staf administrasi.

Sepuluh bulan kemudian, empat penyerang muncul di pengadilan di Essen. Tapi awalnya mereka menunjukkan sedikit penyesalan. "Satu-satunya penyesalan yang mereka rasakan adalah untuk diri mereka sendiri. Menyesal karena mereka cukup bodoh sehingga membiarkan diri mereka difoto," kenang pengacara Nivel, Harald Wostry, dalam wawancara dengan Kicker.

Tapi, kemunculan Nivel, 5 pekan setelah persidangan, membawa perubahan hati para pelaku. "Saya menendangmu sekali atau dua kali dan aku malu dengan apa yang telah saya lakukan padamu. Saya ingin meminta maaf, meski itu tidak akan membantumu," ujar Renger.

Nivel tidak merespons. Hanya istrinya, Lorette, yang menjawab. "Saya mendengar permohonan pengampunanmu. Tapi, saya tidak bisa. Suami saya dan keluarga saya telah terlalu lama menderita, dan kami akan melakukannya selama sisa hidup kami," ujar Lorette.

Untuk menghadirkan para tersangka ke Pengadilan ternyata bukan pekerjaan mudah. Meski ada bukti foto, itu seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Sangat sulit karena TKP di Prancis dan pelakunya ada di Jerman.

Tapi, berkat Burkhard Mathiak, orang-orang pada foto mengerikan itu terungkap. Mathiak adalah seorang pekerja sosial yang kebetulan memiliki proyek bersama pendukung Schalke 04 di Gelsenkirchen. Mathiak masih berada di dalam stadion ketika serangan itu terjadi. Tapi, dia mengenali foto itu sebagai Zawacki, yang merupakan hooligan Schalke.

Namun, memberikan bukti dan kesaksian di pengadilan bukanlah hal mudah bagi Mathiak. Dia punya kedekatan dengan ultras Schalke, yang berarti mempertaruhkan keselamatan diri dan keluarganya. "Saya memiliki dua anak kecil dan itu membuat situasi saya tidak jelas," kata Mathiak.

Akhirnya, pada November 1999, Mathiak bersaksi di sidang Zawacki. Dia dijatuhi hukuman 10 tahun penjara karena percobaan pembunuhan dan cedera tubuh yang permanen. Kemudian, Renger dihukum 6 tahun. Dua pelaku lain, yaitu pria dari Hamburg dan Magdeburg dihukum 3,5 tahun.

"Para terdakwa bukanlah monster. Mereka adalah manusia biasa. Tapi, pada hari yang menyedihkan itu, mereka berperilaku seperti monster," ujar Hakim yang memutuskan kasus tersebut, Rudolf Esders.

Nivel masih tinggal bersama keluarganya di kawasan yang tenang di pinggiran Lens. Ditanya sekali oleh televisi Prancis apakah dia bisa memaafkan penyerangnya, dia berhasil mengucapkan empat kata pendek: "Non, jamais…pourquoi moi?" (Tidak, tidak pernah…kenapa saya?).

Sebagai bentuk penghargaan kepada Nivel, pada 2000, DFB mendirikan Yayasan Daniel Nivel untuk menghadapi hooliganisme sepakbola dan mendukung korban kekerasan.

Pada 14 Juni 2006, Nivel menjadi tamu kehormatan DFB untuk pertandingan Piala Dunia 2006 antara Jerman dengan Polandia di Signal Iduna Park, Dortmund. Dia duduk di sebelah Kanselir Jerman, Angela Merkel. Nivel juga diundang ke pertandingan Jerman melawan Ukraina pada Euro 2016 di Lille.

Terakhir, pada 16 Oktober 2018, sebelum pertandingan UEFA Nations League antara Prancis dan Jerman, Nivel dianugerahi Order of Merit of the Federal Republic of Germany oleh Menteri Luar Negeri Jerman, Heiko Maas.

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network