Kisah Didier Drogba Damaikan Perang Saudara di Pantai Gading, Inspiratif!

"Politisi korup, kudeta militer, kriminalitas, kemiskinan, hingga perang saudara datang silih berganti ke Pantai Gading. Drogba jadi hero!"

Biografi | 02 February 2021, 13:32
Kisah Didier Drogba Damaikan Perang Saudara di Pantai Gading, Inspiratif!

Libero.id - Pantai Gading tidak memiliki kompetisi sehebat Inggris atau Spanyol. Tapi, mereka termasuk langganan Piala Dunia. Bahkan, keberhasilan tampil di Piala Dunia 2006 sempat membuat perang saudara berhenti. Semuanya karena ulah Didier Drogba.

Pantai Gading adalah negara yang terletak di pantai selatan Afrika Barat. Ibu kota politik Pantai Gading adalah Yamoussoukro di tengah negara, sedangkan ibu kota ekonomi dan kota terbesarnya adalah kota pelabuhan Abidjan. Negeri ini berbatasan dengan Guinea (barat laut), Liberia (barat), Mali (barat laut), Burkina Faso (timur laut), Ghana (timur), dan Samudra Atlantik (selatan).

Sejak merdeka dari Prancis pada 7 Agustus 1960, Pantai Gading tidak stabil. Politisi korup, kudeta militer, kriminalitas tinggi, kemiskinan, hingga perang saudara datang silih berganti. Akibatnya, banyak penduduk mengungsi ke luar negeri.

Salah satu periode kelam perang saudara di Pantai Gading terjadi pada 2002-2007. Itu adalah periode ketika sepakbola Pantai Gading memiliki generasi emas yang 100% pemainnya merumput di Eropa. Selain Drogba, pemain-pemain tersebut antara Yaya dan Kolo Toure, Arouna Kone, hingga Didier Zokora.

Prestasi paling monumental dari anak-anak Les Elephants hadir pada kualifikasi Piala Dunia 2006 Zona Afrika. Ketika itu, Pantai Gading harus bersusah payah untuk bisa mendapatkan tiket pesawat ke Jerman.

Ketika itu, sang nakhoda, Henri Michel, harus mengumpulkan pemain yang semuanya merumput di luar negeri. Selain itu, Pantai Gading juga sedang dilanda perang saudara brutal dengan korban meninggal lebih dari 4.000 orang dan 1 juta lainnya mengungsi ke negara-negara sekitar.

Saat para pemain terkumpul dan kampanye menuju sejarah Piala Dunia dimulai, perang besar terjadi. Presiden Laurent Gbagbo dan pasukan pemerintah mengendalikan wilayah selatan. Sedangkan kelompok pemberontak yang dikenal sebagai Tentara Pantai Gading Baru, dipimpin oleh Guillaume Soro, menguasai kawasan utara.

Pertempuran pecah pada 19 September 2002 dengan pemberontak menyerang berbagai kota di seluruh negeri. Sebastien Gnahore, mantan pesepakbola yang melarikan diri dari Pantai Gading, mengenang masa-masa itu.

"Mengerikan. Ketika saya menelepon saudara perempuan saya, saya bisa mendengar suara tembakan di luar rumah. Mereka semua bersembunyi di bawah tempat tidur selama 4 hari dan hanya keluar untuk mencari makanan. Yang saya pedulikan hanyalah apakah keluarga saya akan baik-baik saja. Itulah satu-satunya kekhawatiran yang saya alami setiap pagi," ujar Gnahore, dilansir BBC Sport.

Pada 2004, perang mereda karena adanya intervensi PBB dan Uni Afrika. Sempat diadakan gencatan senjata dan perundingan. Tapi, kekerasaan kembali pecah pada 2005. Itu bertepatan dengan pertandingan-pertandingan Pantai Gading menuju Piala Dunia pertama dalam sejarah.

Les Elephants tergabung di Grup 3 bersama Kamerun, Mesir, Libya, Sudan, dan Benin. Dengan hanya 1 tim yang tampil di Jerman, itu seperti grup neraka karena Kamerun punya tradisi bagus dan Mesir merupakan tim dengan liga terbaik di Benua Hitam.

Pada 8 Oktober 2005, Grup 3 akan menghadapi pertandingan terakhir. Pantai Gading bertandang ke Sudan dan Kamerun menjamu Mesir. Di klasemen pekan 9, Les Elephants ada di posisi 2 dengan 19 poin. Les Indomitable Lions memuncaki klasemen dengan keunggulan 1 poin.

Sesuai regulasi, pertandingan Kamerun vs Mesir dan Sudan vs Pantai Gading digelar di hari dan jam yang sama untuk menghindari main mata. Saat laga memasuki menit 20, di Yaounde, Kamerun mencetak gol pertama. Tapi, 2 menit berselang, di Khartoum, Pantai Gading juga mencetak gol. Pantai gading kembali mencetak gol pada menit 51 dan 73 untuk unggul 3-1.

Ketika Pantai Gading memimpin, Kamerun masih unggul 1-0. Jika itu bertahan 90 menit, Kamerun yang lolos. Tapi, tiba-tiba, keajaiban datang. Pada menit 79, Mohamed Shawky menyamakan skor untuk Mesir. Setelah 90 menit, laga di Yaounde berakhir 1-1 dan di Khartoum 3-1 untuk Pantai Gading.

Di hari dan jam pertandingan, laporan dari Pantai Gading menunjukkan tidak ada kontak tembak. Semua orang duduk di depan televisi untuk menyaksikan siaran langsung. Semua orang larut dalam kegembiraan ketika pertandingan berakhir.

Saat semua pemain masuk ruang ganti, Cyril Damoraud sengaja mengundang kru televisi yang sedang siaran langsung untuk menyaksikan selebrasi kemenangan. Sang kapten lalu meminta reporter menyerahkan mikrofon kepada Drogba untuk mengucapkan pidato kemenangan.

"Pria dan wanita Pantai Gading. Dari utara, selatan, tengah, dan barat, kami membuktikan hari ini bahwa semua warga Pantai Gading dapat hidup berdampingan dan bermain bersama dengan tujuan bersama untuk lolos ke Piala Dunia. Kami berjanji kepadamu bahwa perayaan itu akan menyatukan orang. Hari ini kami mohon berlutut (para pemain berlutut). Maafkan. Maafkan. Maafkan," kata Drogba.

"Satu negara di Afrika yang kaya tidak boleh terjadi peperangan. Tolong taruh senjatamu dan adakan pemilihan umum. Kami ingin bersenang-senang. Jadi berhentilah menembakkan senjatamu," tambah Legenda Chelsea itu.

Permintaan Drogba tidak sia-sia. Pemerintah dan kelompok pemberontak sepakat mengadakan gencatan senjata dan memulai proses perjanjian perdamaian. Pada 4 Maret 2007, kedua belah pihak menandatangani perjanjian damai yang menandai berakhirnya perang saudara.

Sayang, saat Piala Dunia dimainkan, Pantai Gading demam panggung. Berhubung itu adalah Piala Dunia perdana, mereka langsung gagal di fase grup. Tergabung di Grup C, Pantai Gading harus bersaing dengan Argentina, Belanda, dan Serbia-Montenegro.

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network