Kisah TP Mazembe, Klub Asal Kongo yang Mengejutkan Piala Dunia Antarklub 2010

"Datang dari negara yang bergejolak, Kongo, mereka menembus laga final."

Feature | 20 December 2020, 01:21
Kisah TP Mazembe, Klub Asal Kongo yang Mengejutkan Piala Dunia Antarklub 2010

Libero.id - Piala Dunia Antarklub 2020 yang seharusnya digelar bulan ini dipastikan mundur hingga 1-11 Februari 2021 karena pandemi Covid-19. Tapi, sejak kompetisi itu bergulir pada 2000, ada banyak kisah unik. Salah satunya keberhasilan klub yang tidak dikenal dari negara yang sedang bergejolak, Republik Demokratik Kongo, mencapai final edisi 2010.

Wakil Afrika sempat menuai prestasi membanggakan di level dunia, terutama saat ambil bagian pada Piala Dunia Antarklub 2010. Saat itu, sebuah klub tanpa bintang bernama Tout Puissant (TP) Mazembe nyaris mengangkat trofi.

Mazembe adalah klub Kongo yang berbasis di Lubumbashi. Pertandingan kandang mereka dimainkan di Stade TP Mazembe yang terletak di pinggiran Kamalondo. Klub itu mendapatkan julukan Les Corbeaux (Burung Gagak), meski memiliki lambang klub berupa buaya yang sedang menggigit bola.

Mereka merupakan salah satu klub olahraga utama di Kongo dan salah satu tim sepakbola paling sukses di Afrika. Mazembe menjadi klub Kongo pertama dengan 500.000 pengikut di media sosial. Tim berseragam putih-hitam tersebut juga paling sukses di Kongo dengan 36 gelar nasional maupun internasional.

Salah satu yang diingat suporter adalah Piala Dunia Antarklub 2010. Sebab, sejak turnamen pertama kali digelar di Brasil pada 2000, belum ada satupun klub asal Afrika yang tampil di final. Bahkan, klub yang kerap mendominasi Liga Champions Afrika seperti Al-Ahli (Mesir) hanya mentok di posisi 3 pada 2006.

Setelah kiprah Al-Ahly, belum pernah ada klub Benua Hitam yang bisa mencapai level tertinggi. Klub asal Maroko, Etoile du Sahel, sempat berusaha memperbaiki reputasi itu. Tapi, mereka harus puas mencapai peringkat 4 pada 2007. Sahel dikalahkan Urawa Red Diamonds.

Tiba-tiba, semua berubah saat Mazembe menjuarai Liga Champions Afrika 2010. Mereka berhak mewakili Konfederasi Sepakbola Afrika (CAF) untuk tampil di Uni Emirat Arab (UEA).

Mazembe datang dengan pemain yang tidak punya nama. Tapi, justru itu kelebihan mereka. Mazembe langsung menggebrak. Mereka mengalahkan jawara CONCACAF asal Meksiko, Pachuca, 1-0 di perempat final. Hugues Bedi Mbenza menjadi pahlawan setelah mencetak gol tunggal pada menit 21.

Keberhasilan mengalahkan Pachuca masih tidak dianggap penting oleh tim-tim lain. Mazembe baru dilirik orang setelah bertemu wakil CONMEBOL asal Brasil, Internacional Porto Alegre, di semifinal. Mereka unggul 2-0 melalui Patou Kabangu (53) dan Alain Kaluyituka (85).

Kemenangan itu membuat motivasi mereka berlipat saat mendapatkan kesempatan bermain di final. Mereka siap mengukir sejarah sebagai klub pertama selain Eropa dan Amerika Latin yang menjadi juara. Lawan Mazembe di final adalah Inter Milan, yang pada 2009/2010 berstatus peraih treble winners.

Sayang, ambisi klub asal Kongo tersebut sirna di pertandingan pamungkas. Akibat tampil terlalu percaya diri, mereka menyerah 0-3 dari I Nerazzurri. Semua gol Inter dilesakkan Goran Pandev, Samuel Eto'o, dan Jonathan Biabiany.

Meski kalah, Mazembe menjadi pioner tim kejutan. Sebab, setelah itu barulah bermunculan klub asal Afrika yang menorehkan hasil bagus. Sebut saja Raja Casablanca (Maroko), yang menjadi runner-up 2013. Mereka dikalahkan jawara Eropa asal Jerman, Bayern Muenchen, 0-2.

Langkah Mazembe dan Casablanca juga menginspirasi tim-tim dari Asia. Pada 2016, Kashima Antlers sebagai utusan tuan rumah Jepang berhasil mencapai final. Mereka mengalahkan Auckland City di play-off, Mamelodi Sundowns (perempat final), dan Atletico Nacional (semifinal).

Tapi, di laga puncak, Kashima menyerah dari Real Madrid 2-4. Itu bukan pertandingan mudah bagi Los Blancos. Mereka butuh extra time untuk menyudahi perlawanan Kashima. Saat itu, skor 2-2 selama 90 menit. Lalu, Cristiano Ronaldo menjadi pahlawan lewat 2 gol di menit 98 dan 104.

Selain Kashima, prestasi bagus juga ditorehkan Al-Ain pada 2018. Sama seperti Kashima, status mereka adalah utusan tuan rumah UEA. Tapi, justru itulah yang membuat Al-Ain mengalahkan Team Wellington (play-off), Espérance de Tunis (perempat final), dan River Plate (semifinal). Sayang, di final Al-Ain menyerah dari Madrid 1-4.

Untuk musim ini, belum semua konfederasi memastikan wakil yang akan ambil bagian di kompetisi. Banyak yang masih bertanding untuk menentukan juara di masing-masing Liga Champions.

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network