Sisi Gelap Akademi yang Lahirkan Yaya Toure, Gervinho dan Salomon Kalou

"ASEC Mimosas adalah tim Pantai Gading yang paling sukses. Mereka memegang rekor tidak terkalahkan terlama, yakni 108 pertandingan."

Feature | 20 October 2020, 12:11
Sisi Gelap Akademi yang Lahirkan Yaya Toure, Gervinho dan Salomon Kalou

Libero.id - Setiap kesebelasan pasti memiliki generasi emas. Seperti timnas Inggris era 2000-an yang dipenuhi dengan pemain berbakat seperti David Beckham, Frank Lampard hingga Wayne Rooney, maka timnas Pantai Gading pun demikian. Pada masanya, Les Elephants memiliki sejumlah sosok yang sangat berpengaruh di daratan Eropa seperti Yaya Toure, Gervinho hingga Salamon Kalou.

Tapi tahukah bahwa kesemua pemain itu merupakan satu produk akademi yang bernama  Academie MimoSifcom, sebuah akademi yang berada dalam naungan tim sepak bola Pantai Gading, ASEC Mimosas.

Bisa dikatakan bahwa ASEC Mimosas adalah tim Pantai Gading yang paling sukses. Didirikan tahun 1948, tim berjuluk Noir et Jaunes itu adalah tim yang tidak terkalahkan terlama di kompetisi domestik, yakni 108 pertandingan, mematahkan rekor Steaua Bucharest di Romania. Mereka juga tim dengan gelar liga terbanyak, yakni 26 kali menjadi kampiun serta sukses memenangi pergelaran West African Club Championship (UFOA Cup) satu kali pada tahun 1990.

Kembali lagi soal akademi muda ASEC Mimosas, bagaimana bisa mereka menyuplai pemain hebat untuk timnas Pantai Gading selama beberapa generasi? Dan dari mana awal mulanya? karena kalau boleh jujur, persepakbolaan di tanah Afrika bisa dikatakan sangat tertinggal dari Eropa, dalam banyak aspek tentunya.

Semua itu berawal dari seseorang bernama Jean-Marc Guillou. Pada tahun 1993, mantan pemain Nice itu mendirikan Academie de Sol Beni sebagai tim cadangan untuk ASEC Mimosas dengan tujuan eksplisit mendidik pemain dan mengatur mereka untuk pindah ke Eropa. Berada di kota Abidjan, para pemain muda Pantai Gading sangat termotivasi untuk bergabung dan tentunya mengubah nasib mereka.

Mereka memiliki ”filosofi kerja" seperti ini: “Pemain berusia 17 atau 18 tahun harus bisa bermain di Liga Champions Afrika (UFOA Cup) karena ini adalah kompetisi yang paling banyak ditonton oleh klub asing.”

Tujuan blak-blakan untuk mengembangkan pemain sebagai komoditi ekspor telah terbukti sukses dan menghasilkan banyak bintang (Toure bersaudara, Kalou, Gervinho, dan Romaric) dari "permata mahkota" akademi Afrika. Ketelitian program membantu menjelaskan mengapa klub telah menghasilkan begitu banyak pemain top.

Pengajar berlatih dua kali sehari dan mulai bekerja di sekolah sepak bola dari pukul 06.30-20.30, belajar bagaimana menjadi pemain profesional yang baik. Klub fokus pada mentalitas pemain yang kemudian dikombinasikan dengan aspek permainan yang dibahasakan lebih sederhana.

Ide ini terletak pada akar dari pelatihan intensif dan menciptakan suasana di mana pemain belajar secara kolaboratif alih-alih terus bersaing untuk membuktikan diri. Dalam 5 tahun penerapan, filosofi ini membuahkan hasil yang besar, karena beberapa produk pertama akademi tersebut membawa ASEC untuk memenangkan Liga Champions Afrika. Para pemandu bakat tim Eropa pun mulai melakukan penjajakan transfer untuk pemain muda tersebut.

Berbicara soal industri ekspor pemain, fakta di lapangan menunjukkan tak semua pemain muda disana menjadi pemain hebat di Eropa. Keberuntungan yang diciptakan oleh masing-masing pemain muda Pantai Gading berbeda-beda.

Pada tahun 2003, secara besar-besaran Guillou mengirimkan 14 pemain muda ASEC ke klub barunya di Belgia, KSK Beveren Belgia. Seharusnya, tim Belgia itu menjadi wadah para pemain muda, memberi mereka pengalaman Eropa dan platform yang lebih baik untuk sukses, tetapi secara di sisi lain melambangkan eksploitasi pemain untuk keuntungan pribadi.

Visi Gulliou untuk kesuksesan pribadi membawa remaja ke Benua Biru dengan upah rendah menuai kritik. Beberapa pemain yang mereka bawa seperti Gilles Yapi Yapo, Romaric, dan Eboue, menjadi hit besar di Eropa namun kemudian tenggelam dalam kegagalan setelah itu.

Kisah Mohammed Diallo menceritakan peristiwa yang lebih “khas”: Setelah bermain untuk Beveren selama tiga tahun, ia kemudian dijual ke FC Sion dan dipinjamkan ke klub Israel. 2 tahun kemudian ia diputus kontrak oleh manajemen Sion dan bermain di Liga Prancis yang paling rendah sebelum kembali ke Afrika untuk bermain untuk Ajax Cape Town saat berusia 26 tahun.

Faktanya, banyak yang tidak siap untuk pindah pada usia 17 tahun. Realitas keras sepak bola seperti ini sudah sering terjadi pada banyak pemain muda Pantai Gading.

Penjualan pemain di usia muda juga ada unsur memperkaya pribadi. Secara teori, uang transfer harus diinvestasikan kembali dan membuat sepak bola Pantai Gading lebih baik. Namun demikian, perbaikan infrastruktur tidak terlihat.

Mantan pelatih ASEC,  Xavier Minougou berujar bahwa, "Jika orang Eropa memiliki lebih banyak uang dan datang dan membeli pemain kami, saya pikir itu bagus untuk Afrika."

Namun dalam pratiknya, hal itu tidak berjalan sesuai dengan apa yang dipikirkan. Mindset untuk menjual pemain lebih didahulukan daripada untuk mempertahankannya hingga berada di usia matang. Akibatnya persepakbolaan domestik menjadi semakin buruk.

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network