Kisah Stanley Menzo, Eks Kiper Hebat Ajax yang Rutin Mendapat Perlakuan Rasial

"Latar belakang terbitnya buku hebat berjudul The Battle Under the Bar."

Biografi | 06 December 2021, 14:54
Kisah Stanley Menzo, Eks Kiper Hebat Ajax yang Rutin Mendapat Perlakuan Rasial

Libero.id - Kita semua sepakat rasisme adalah masalah besar, harus dikutuk, dan ditendang jauh-jauh pelakunya dari sepakbola atau dimanapun dalam konteks yang lebih luas. Ada begitu banyak pesepakbola, rata-rata berkulit hitam, yang mendapat perilaku rasis.

Tapi, ada satu nama yang cukup sering merasakan hal pedih tersebut. Dia adalah mantan kiper Ajax Amsterdam era 80-an, bernama Stanley Menzo.

Tahun-tahun awal Menzo di Ajax adalah ketika Johan Cruyff menjadi pelatih.

Di bawah bimbingan Legenda Belanda itu, Menzo masuk ke tim utama pada usia 21 tahun. Cruyff pindah ke Barcelona tiga tahun kemudian, tetapi kiper muda itu akan mempertahankan tempatnya selama tujuh musim. Dia adalah bintang tim yang memenangkan Piala Winners di 1987 dan Piala UEFA 1992.

Selama 16 tahun berkarier, Menzo juga memenangkan sembilan gelar liga dan piala domestik di seluruh pertandingan Belanda dan di Belgia. Dia mencapai itu dengan gaya, terutama membantu mengubah apa yang banyak orang pikirkan tentang seorang kiper.

Tapi, tahun-tahun di puncak kariernya itu justru sulit secara psikologis. Dia kerap diserang secara rasial. Lahir di Suriname pada 1963, Menzo pindah ke Belanda saat berusia enam tahun.

Pelecehan rasial dimulai di awal kariernya. Pada saat dia mencapai puncaknya, intensitas rasial makin mengerikan - publik sering dan dalam skala besar, mengoloknya.

Dalam banyak permainan yang dia mainkan, akan ada suara monyet, ejekan rasis, pelemparan pisang ke lapangan yang diarahkan kepadanya. "Sakit sangat menyakitkan bagiku," kata Menzo.

"Ketika Anda mendengar separuh stadion melecehkan Anda, rasanya sangat sakit sekali. Ketika saya memikirkan kembali, bagaimana mungkin saya bisa bermain dalam kondisi seperti itu," ungkapnya.

Meskipun dia berusaha untuk tidak membiarkannya memengaruhinya, itu membuatnya mempertanyakan dirinya sendiri.

"Kami tidak pernah berbicara tentang apa yang terjadi, karena kami tidak tahu bagaimana menghadapinya," tambahnya.

"Beberapa pemain mengatakan mereka tidak mendengarnya. Saya tidak bisa membayangkan - saya selalu mendengarnya, bahkan ketika itu adalah satu orang. Itu normal."

Tapi, Menzo memang menunjukkan kekuatannya. Pada lebih dari satu kesempatan, dia secara fisik melawan para pelakunya.

Pertama kali pada November 1987, masih awal kariernya di Ajax, pada usia 24 tahun. Itu terjadi setelah pertandingan tandang lainnya di mana dia menjadi sasaran rasial.

Dia keluar dari ruang ganti dan berjalan menyeberang menuju bus tim, membawa sebuah kotak. Seorang pemuda mendekatinya. Dia bertanya kepada Menzo apakah ada pisang di dalam kotak. Menzo meletakkan kotak itu di tanah.

"Aku berkata 'apa yang kamu katakan?' dan dia mengatakannya lagi," lanjut Menzo. "Pada saat itu saya bukan diri saya sendiri, dan saya memukulnya.”

Menzo memukul pria itu tepat di wajahnya. Pelakunya pergi dengan hidung berdarah dan gigi patah.
Kemudian dalam kariernya yang lain, ketika dia bermain di Belgia pada 1990-an, lagi-lagi pisang dilemparkan ke arahnya.

Kali ini, alih-alih mengabaikannya seperti yang sering dilakukannya sebelumnya, Menzo mengambilnya, mengupasnya, dan menggigitnya. Hasilnya adalah tawa - menghilangkan ketegangan.

"Itu adalah reaksi yang baik," katanya. "Itu membuat saya merasa baik dan memberikan reaksi positif kepada para penggemar."

Tetapi, Menzo juga percaya bahwa sebagian dari reaksi itu datang karena dia lebih tua, lebih dikenal, dan lebih dihormati saat itu. Sebagai pria yang lebih muda, reaksi seperti itu tidak mungkin.

Butuh waktu lama bagi Menzo untuk mengapresiasi apa yang telah diraihnya dalam sepakbola. Bukan hanya karena rasisme yang terus-menerus yang dia hadapi, tetapi karena dia sering terlalu mengkhawatirkan penampilannya untuk menikmati kesuksesan.

“Sering kali saya hanya melihat hal-hal negatif, gol-gol yang tidak bisa saya selamatkan,” kenangnya. "Saya terlalu sibuk dengan hal-hal itu, dan lupa melihat sisi positifnya."

Perasaan itu terus berlanjut sampai akhirnya dia menuangkan kisah-kisahnya dalam buku. Judulnya adalah Menzo: The Battle Under the Bar.

"Pada awalnya agak aneh membicarakan diri sendiri," katanya. "Tapi saya mulai menyukainya dan saya melihat hal-hal lain dalam hidup saya dan karier saya yang saya nikmati sekarang, dan yang tidak saya nikmati sebelumnya. Saya melihat bahwa saya telah melakukan pekerjaan yang hebat sebagai pemain."

Lewat buku yang dibaca banyak orang itu, dia akhirnya bisa menghargai bagaimana orang lain memandangnya.

"Saya tidak pernah tahu mereka melihat saya seperti itu - sebagai seorang atlet, sebagai penjaga gawang yang hebat, sebagai seseorang yang selalu berjuang melawan rasisme. Itu membuat saya bangga bahwa orang-orang menganggap saya seperti itu."

Meskipun sudah pensiun bertahun-tahun yang lalu, Menzo tetap aktif di sepakbola. 

Dalam beberapa tahun terakhir, dia bekerja sebagai pelatih kiper di tim nasional Belanda, ketika Marco van Basten melatih De Oranje antara 2004 dan 2008.

Pada 2007/2008, dia memimpin FC Volendam untuk promosi ke Eredivisie, dan juga melatih kiper di klub-klub di Belgia, Afrika Selatan, dan China.

Dia sekarang adalah direktur teknis tim nasional Aruba dan juga menjabat sebagai pelatih pengganti. Pada bulan Juni, dia membimbing mereka untuk kemenangan pertama mereka dalam tiga tahun, kemenangan 3-1 atas Kepulauan Cayman di kualifikasi Piala Dunia 2022.

"Saya harus membalas budi, karena sepakbola membuat saya menjadi diri saya sendiri," pungkasnya.

(mochamad rahmatul haq/yul)

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network